Friday, August 29, 2008

Kata Pembuka

salam,

dari pengalaman nonton ataupun membaca wayang selama ini
(wayang kulit, golek, maupun pagelaran wayang wong)
akhirnya tanpa sadar sudah terbentuk sebentuk pola di benak saya

yang pertama adalah mengenai 'konsep' wayang itu sendiri :
semua kisah, dan tokoh di dalamnya,
seolah menggambarkan segala hal
yang bisa dan mungkin saya alami sendiri

bahwa dalam beraktifitas sehari-hari
saya mungkin menjadi seorang dursasana
yang manja, yang sulit mengendalikan diri dari nafsu,
yang berpenampilan sangar namun berhati pengecut.

namun kadang saya bisa juga menjadi seorang parta,
yang mampu mematikan segala nafsu dan keinginan
atau bisa pula, dalam keadaan lain,
menjadi bima yang hanya mau bertindak lurus
sesuai penugasan atau tuntutan keadaan'

atau malah jadi sukasrana,
yang mau memberikan apa saja
sekedar untuk mendapat perhatian sang kakak.

dalam konteks ini, di benak saya,
cerita wayang dan semua tokoh-tokohnya
adalah diri saya sendiri
jadi mungkin saja seorang dewa serong,
karena dia adalah saya sendiri,
yang pada situasi yang sangat spesifik
bisa saja tergiur oleh
iming-iming kekuasaan, keindahan, ataupun kemudahan
yang memang senantiasa ada di sekitar kita

pemahaman berikutnya adalah tentang konsep 'jaman',
yang, bagi saya, me-relasi-kan antara
'kisah' (lakon) dan 'titi mangsa' (saat,waktu yang tepat)
(bagai 'time-motion study' versi 'kehidupan nyata' :-) )

saat ini saya belum bisa menyusun
rumusan soal 'pemahaman' yang kedua ini
namun hanya bisa menunjukkan,
seperti batara endra, misalnya,
yang digambarkan sebagai dewa paling tangguh
namun pernah dipecundangi oleh boma,
raksasa yang menyerbu kahyangan,

dia yang memilih tetap duduk di kaendran,
tak hendak memimpin pasukan dewa
sehingga para dewa kalah.
dia lebih memilih menyerahkan seorang bidadari pada lawan
agar tidak usah berperang melawan si boma

hal itu kembali terjadi
pada saat indrajit (megananda) menyerbu kahyangan
hingga sang endra terpaksa memberikan seorang bidadari
sebagai tanda 'panungkul'
(pengertian 'bidadari' di sini
bisa saja berbentuk kekuasaan, keindahan, atau kemudahan
jadi para feminist wayang@ers tak perlu gemas duluan . . . :-):- ) )

namun sang endra) mulai bersikap lain
saat kahyangan diserbu niwatakawaca
(dalam lakon 'gancaran mintaraga')
dengan meminta bantuan arjuna,
untuk melawan niwatakawaca
dan dia berhasil
menang.

dalam konteks ini,
tokoh yang sama, bisa bertindak lain pada sikon yang lain,
dan hasilnya sama:
yaitu ketenteraman dunia yang mencakup triloka
(kaendran, kamanungsan, kajiman/ka-raseksan)

kuncinya adalah pada
pemilihan saat yang tepat untuk bertindak apa
pada saat kita berperan sebagai apa
sebagai batara endra, dewa yang mewakili kekuatan akal dan batin,
atau sebagai raksasa, yang mewakili kekuatan fisik,
atau sebagai arjuna, manusia, yang mewakili kekuatan pikir.

semua tokoh itu ada di dalam diri kita
semua cerita itu bisa kita alami sendiri setiap saat

itulah 'wayang'
yang ada di benak saya.

nuwun,

harmiel m soekardjo
(dipindahkan dari www.geocities.com/Athens/Delphi/7409/ 
yang sudah dilikuidasi per tanggal 28 oktober 2009) 

No comments: